JIWA YANG SEHAT MENURUT IMAM AL-GHAZALI
Psikologi atau 'ilm al-nafs dalam pandangan
Imam al-Ghazali (w.505H/1111M), termasuk dalam kategori ilmu-ilmu terapan.
Psikologi
pada hakekatnya bertujuan melatih jiwa (riyadhah) dan pengendalian hawa nafsu
(mujahadatul hawa). Termasuk dalam hal ini adalah bagaimana melatih jiwa dalam
bermuamalah kepada seluruh anggota keluarga, pembantu dan budak. (lihat:
Mizanul 'Amal)
Dalam kitabnya Ihya 'Ulumiddin, beliau menjelaskan bahwa
mempelajari disiplin ilmu jiwa ini adalah wajib. Sebab dengan menguasai ilmu
inilah tercapainya cara-cara pensucian jiwa. "Sesungguhnya beruntunglah
orang yang mensucikan jiwa itu" (QS. 91:9). Sedangkan mengabaikan ilmu ini
akan berakhir pada kerugian. "Dan sesungguhnya merugilah orang yang
mengotori jiwanya" (QS. 91:10). Hal ini dikarenakan bahaya penyakit kalbu
lebih parah daripada penyakit fisik. Sebab penyakit fisik hanya merenggut
kehidupan yang fana, sementara penyakit hati menyebabkan kehancuran pada
kehidupan yang abadi. Maka perhatian terhadap kecermatan tentang kaedah-kaedah
penyembuhan penyakit kalbu harus lebih diutamakan.
Di samping itu, al-Ghazali menjelaskan bahwa
ilmu jiwa pada intinya difokuskan untuk mengarahkan tiga kekuatan dalam diri
manusia, yakni kekuatan fikir, kekuatan syahwat dan kekuatan amarah. Maka
jiwa yang sehat akan terwujud, jika ketiga kekuatan tersebut terarah dan
terbina dengan baik. Fokus pertama adalah pembinaan kekuatan fikir. Dan
terbinanya potensi fikir membuka manusia meraih hikmah. Dengan hikmah, manusia
tidak lagi mencampuradukkan antara keimanan terhadap yang hak dan batil, antara
perkataan yang benar dan dusta, antara perbuatan yang terpuji dan tercela, dst.
Hikmah juga menjaga akal manusia agar tidak terjerumus kedalam limbah
relativisme dan belantara purba sangka dalam berislam.
Yang kedua, fokus ilmu jiwa ditujukan pada
pengarahan kekuatan syahwat. Dengan terarahnya potensi ini, maka tercapailah
kesederhanaan jiwa ('iffah). 'Iffah akan membentengi manusia dari perbuatan
maksiat dan senantiasa mendorongnya untuk mendahulukan perilaku yang terpuji.
Sedangkan fokus ketiga diarahkan untuk mengendalikan kekuatan amarah hingga
tercapainya kesabaran (hilm) dan keberanian (syaja'ah).
Maka keadilan akan bersemai dalam jiwa
seseorang, jika dia telah berhasil mengelola ketiga kekuatan di atas.
Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu hanyalah orang-orang yang beriman
kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad
dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang-orang yang
benar. (QS. 49:15)
Keimanan kepada Allah dan Rasul-Nya pada
ayat di atas disertai dengan menafikan keraguan. Dan keraguan hanya bisa
dinafikan dengan adanya keyakinan ilmu dan hikmah, yang diperoleh dari
terarahnya potensi fikir. Berjihad dengan harta terlaksana berkat 'iffah yang
lahir dari potensi syahwat yang telah dikendalikan. Sedangkan berjihad
(mujahadah), tidak terlaksana kecuali adanya keberanian dan kesabaran yang
merupakan buah pengendalian potensi amarah.
Dengan
demikian jiwa yang sehat itu menurut imam al-Ghazali, jika ia dihiasi dengan
empat induk kesalehan, yakni hikmah, kesederhanaan ('iffah), keberanian
(syaja'ah) dan keadilan ('adalah). Beliau menjelaskan bahwa kerelaan memaafkan
orang yang telah menzaliminya adalah kesabaran dan keberanian (syaja'ah) yang
sempurna. Kesempurnaan 'iffah terlihat dengan kemauan untuk tetap memberi pada
orang yang terus berbuat kikir terhadapnya. Sedangkan kesediaan untuk tetap
menjalin silaturrahim terhadap orang yang sudah memutuskan tali persaudaraan
adalah wujud dari ihsan yang sempurna. (lihat: Mizanul 'Amal). Sebaliknya,
ciri-ciri jiwa yang sakit adalah kosongnya jiwa dari keempat induk kesalehan di
atas. Sakit jiwa bukan sekedar hilangnya akal (gila), tetapi ia juga hilangnya
ketaatan pada Sang Khalik.
Derajat dan Tingkatan manusia
Kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya berbeda-beda. Imam al-Ghazali menjelaskan tiga tingkatan manusia dalam hal ini. Pertama, orang yang dikuasai oleh hawa nafsu dan bahkan menjadikannya tuhan sesembahannya (lihat QS. 25:43 dan QS. 45:23). Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya ini akan cenderung pada kesesatan, karena pendengaran dan kalbunya sudah terkunci. Mereka diibaratkan seperti anjing (QS. 7:176), oleh karena itu tidak layak dijadikan pemimpin.
Derajat dan Tingkatan manusia
Kemampuan manusia dalam mengendalikan hawa nafsunya berbeda-beda. Imam al-Ghazali menjelaskan tiga tingkatan manusia dalam hal ini. Pertama, orang yang dikuasai oleh hawa nafsu dan bahkan menjadikannya tuhan sesembahannya (lihat QS. 25:43 dan QS. 45:23). Mereka yang terbelenggu oleh hawa nafsunya ini akan cenderung pada kesesatan, karena pendengaran dan kalbunya sudah terkunci. Mereka diibaratkan seperti anjing (QS. 7:176), oleh karena itu tidak layak dijadikan pemimpin.
Kedua, orang
yang selalu berkompetisi dengan hawa nafsunya. Maka terkadang ia mampu
mengendalikannya dan terkadang tidak. Mereka ini tergolong mujahidin. Jika saat
kematian datang menjemputnya, sedangkan ia dalam usaha mengendalikan hawa
nafsunya, maka ia tergolong syuhada'. Sebab ia sedang menyibukkan dirinya
menjalankan perintah Rasulullah SAW untuk memerangi hawa nafsu seperti
memerangi musuhnya.
Ketiga, golongan
yang berhasil mengendalikan hawa nafsu dan mengalahkannya dalam kondisi apapun.
Mereka inilah golongan penguasa sejati yang telah terbebas dari belenggu hawa
nafsu. Umar bin Khattab merupakan salah satu contoh orang yang menduduki
peringkat ini, hingga Nabi pun bersabda bahwa setan akan mengambil jalan yang
tidak dilalui Umar.
Oleh sebab
itu, dalam rangka melepaskan belenggu nafsu dan untuk meraih kebahagiaan
hakiki, beliau menjelaskan empat kiat, yaitu mengenal diri, mengenal Pencipta,
mengenal hakekat dunia dan mengenal hakekat akherat. Dalam proses mengenali
diri, Imam al-Ghazali memberikan bahan introspeksi harian (muhasabah).
Misalnya: Anda itu apa? Anda datang ke tempat ini dari mana? Untuk tujuan apa
Anda diciptakan? Karena apa Anda berbahagia? Dan kenapa juga Anda harus merasa
sengsara?
Masih dalam rangka mengenali diri, Imam
al-Ghazali menjelaskan adanya empat potensi dalam diri manusia, dimana
masing-masing memiliki kebahagiannya sendiri. Keempat potensi tersebut adalah
sifat binatang ternak, sifat binatang buas, sifat setan dan sifat malaikat.
Beliau pun menguraikan sebagai berikut: "Sesungguhnya kebahagiaan binatang
ternak itu di saat makan, minum, tidur dan melampiaskan hasrat seksnya. Jika
Anda termasuk golongan mereka, maka bersungguh-sungguhlah dalam memenuhi
kebutuhan perut dan kemaluan. Kebahagiaan binatang buas itu dikala ia berhasil
memukul dan membunuh. Kebahagiaan setan itu ketika ia berhasil melakukan makar,
kejahatan dan tipu muslihat. Jika Anda
berasal dari golongan mereka, maka sibukkanlah diri Anda dengan kesibukan
setan. Sedangkan kebahagiaan malaikat itu tatkala ia menyaksikan indahnya
kehadiran Tuhan. Maka jika Anda termasuk golongan malaikat,
bersungguh-sungguhlah dalam mengenali asal-usul Anda, hingga mengetahui jalan
menuju kepada-Nya dan terbebas dari belenggu syahwat dan amarah". (lihat:
Kimiya al-Sa'adah).
Menurut Imam
al-Ghazali, kebahagiaan dan jiwa yang sehat itu diawali dengan ilmu
pengetahuan. Maka barang siapa yang sudah hilang kemauan untuk mencari Ilmu,
maka orang itu ibarat orang yang habis seleranya untuk memakan makanan yang
baik; atau seperti orang yg lebih suka makan tanah daripada makan roti. Sebab
kebahagiaan hakiki adalah hakekat spiritual yang kekal, keyakinan pada hal-hal
mutlak tentang hakikat alam, identitas diri dan tujuan hidup. Kesemuanya itu
berawal dari ilmu dan bermuara pada mahabbatullah (cinta kepada Allah). (insistnet)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar